Perang melawan rasa bosan
Merangkai kembali warna-warni yang mulai memudar di antara rutinitas.
Masuk angin
Kiko merasa tidak enak badan. Bukan sakit, tapi juga jelas tidak sehat. Badannya terasa berat, kepalanya sedikit pening, dan yang paling parah, semangatnya seperti menguap entah ke mana. Ia menatap layar ponsel, scroll tanpa tujuan, tapi tak ada satu pun yang menarik hatinya. “Masuk angin, nih, kayaknya,” gumamnya pada diri sendiri.
Refleks pertamanya, seperti kebanyakan dari kita, adalah mencari solusi instan. Ia minta dikerok, lalu menenggak segelas jahe hangat. Untuk sesaat, ia merasa lebih baik. Punggungnya yang memerah seolah menjadi bukti bahwa “angin” jahat itu telah berhasil diusir.
Tapi keesokan harinya, perasaan itu kembali. Rasa hampa yang sama, ketidakberdayaan yang identik. Kiko mulai bertanya-tanya. Apakah ini benar-benar cuma soal angin? Atau jangan-jangan, ini adalah sinyal dari sesuatu yang lebih dalam? Sinyal bahwa ia bukan sekadar masuk angin, tapi sudah lelah, lelah dengan rutinitas pekerjaan yang monoton, lelah dengan tagihan yang terus datang, lelah merasa berlari di tempat.
Kisah Kiko adalah kisah kebanyakan dari kita. Kita sering memperlakukan rasa bosan seperti masuk angin: sebuah gangguan sepele yang cukup diatasi dengan “kerokan” instan berupa hiburan digital. Padahal, bagaimana jika rasa bosan itu bukanlah penyakitnya, melainkan diagnosis awalnya? Sebuah sinyal dari tubuh dan jiwa bahwa ada yang salah, ada yang butuh perhatian lebih dari sekadar pengalih perhatian sesaat.
Tulisan ini adalah undangan untuk berhenti mengerok rasa bosan, dan mulai bertanya: “Sebenarnya, kenapa saya ‘masuk angin’?”
Sains & Psikologi
Beberapa tahun terakhir saya banyak belajar soal cara kerja otak. Sederhananya begini: rasa bosan itu sebenarnya sinyal dari otak kita yang sedang butuh aktivitas bermakna, bukan sekadar distraksi.
Nah, soal distraksi, kita semua tahu ceritanya, kan? Mungkin sekarang pun, sambil baca artikel ini, ada notifikasi yang baru muncul di layar. Atau jangan-jangan, jari kita sudah gatal ingin scroll ke bawah, cuma untuk melihat apa lagi yang baru. Setiap scroll dan like itu seperti reward kecil buat otak kita. Itu adalah suntikan dopamin sesaat yang candu. Inilah jebakan era modern: kita dibanjiri kepuasan instan sampai hal-hal yang biasa saja jadi terasa hambar.
Tapi ada satu hal menarik yang terjadi saat kita membiarkan diri kita bosan, saat kita tidak langsung meraih ponsel. Otak kita punya semacam ‘mode standby’ yang disebut Default Mode Network (DMN). Sederhananya, DMN inilah yang bertanggung jawab saat kita melamun. Saat DMN aktif, otak justru bekerja menyambungkan ide-ide acak, memproses kenangan, dan berandai-andai tentang masa depan. Di sinilah kreativitas dan refleksi diri seringkali muncul. Sayangnya, setiap kali kita mengisi keheningan dengan distraksi, kita mematikan fitur ini sebelum ia sempat bekerja.
Penting juga untuk membedakan rasa bosan dengan apatis. Kalau kamu bosan, itu artinya kamu sebenarnya sedang aktif mencari sesuatu untuk dilakukan. Ada energi di sana, sebuah dorongan untuk mencari stimulasi. Kamu gelisah. Sebaliknya, apatis itu lebih terasa seperti kekosongan. Kamu tidak hanya tidak tertarik pada apa pun, tapi kamu juga tidak punya energi untuk mencarinya. Jika perasaanmu lebih condong ke arah apatis, ini bisa jadi sinyal dari sesuatu yang lebih serius seperti depresi, dan mungkin ini saatnya untuk bicara dengan seseorang.
Jiwa yang Lelah
Kadang, rasa bosan itu bukan karena kurang hiburan, tapi karena kita lelah. Lelah dengan rutinitas yang itu-itu saja: bangun pagi, kerja, macet, pulang, tidur, ulangi lagi. Lelah dengan tanggung jawab yang rasanya tidak ada habisnya, seperti tagihan yang selalu datang tepat waktu atau ekspektasi orang lain yang harus dipenuhi. Ini bukan bosan yang bisa disembuhkan dengan nonton film. Ini adalah kelelahan jiwa yang bertanya, “Memangnya hidup cuma begini saja?”
Ada juga rasa bosan yang datang dari luar diri kita. Saat kita merasa tidak berdaya (powerless) melihat keadaan sekitar. Mungkin lelah dengan berita politik yang carut-marut, cemas dengan kondisi ekonomi, atau frustrasi karena merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak kita sukai tapi tidak bisa ditinggalkan. Rasa bosan di sini adalah bentuk penyerahan diri sementara. Sebuah cara bagi pikiran kita untuk berkata, “Ini terlalu berat, aku butuh istirahat sejenak dari semua ini.”
Dan yang paling dalam, rasa bosan bisa menjadi topeng untuk luka emosional. Saat kita bilang “aku bosan”, mungkin yang sebenarnya kita rasakan adalah “aku sedih,” “aku cemas,” atau “aku kecewa.” Rasa bosan menjadi cara aman untuk menghindari perasaan yang lebih menyakitkan seperti penyesalan, trauma, atau rasa sepi yang menumpuk. Ini adalah “bosan menderita,” sebuah kondisi di mana jiwa kita sudah terlalu lelah untuk merasakan apa pun, sehingga ia memilih untuk tidak merasakan apa-apa sama sekali.
Mendiagnosis Sunyi
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Mungkin kita perlu berhenti menyatakan “perang” terhadap rasa bosan. Perang itu melelahkan dan seringkali salah sasaran. Bagaimana kalau kita ganti pendekatannya? Bukan perang, tapi diagnosis.
Langkah pertama adalah berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: “Sebenarnya, bosan yang saya rasakan ini jenis yang mana? Apakah ini ‘bosan ringan’ karena saya kurang kegiatan menarik, atau ini ‘bosan berat’ karena saya sebenarnya lelah secara jiwa?
Kalau ini “bosan ringan”, resepnya cukup sederhana. Pertama, coba peluk kekosongan itu sejenak. Saat rasa bosan datang, jangan langsung ambil ponsel. Coba diam saja selama lima menit. Biarkan pikiranmu melamun. Biarkan DMN di otakmu mulai bekerja. Siapa tahu ada ide cemerlang yang muncul. Kedua, jadwalkan “waktu eksplorasi”. Sisihkan satu jam dalam seminggu untuk mencoba hal baru yang sudah lama kamu inginkan, entah itu belajar main alat musik dari YouTube, olahraga, jalan-jalan ke taman kota, atau sekadar mencoba resep makanan baru.
Nah, kalau yang kamu rasakan adalah “bosan berat” atau kelelahan eksistensial, solusinya lebih dalam dari sekadar mencari hobi baru. Ini bukan lagi soal “apa yang harus dilakukan,” tapi soal “bagaimana saya bisa merasa hidup lagi?” Kuncinya ada tiga: makna, kontrol, dan koneksi.
Mulailah dengan aksi mikro. Jangan berpikir untuk mengubah kebiasaan dalam semalam. Fokus pada satu hal kecil yang bisa kamu kontrol sepenuhnya. Mungkin merapikan satu laci meja, membaca buku satu halaman, atau menyelesaikan satu tugas yang sudah lama tertunda. kemengangan-kemenangan kecil seperti ini akan mengembalikan perasaan berdaya yang sebelumnya hilang.
Kemudian, cari koneksi. Rasa hampa seringkali diperparah oleh rasa terisolasi. Hubungi satu teman yang sudah lama tidak kamu ajak bicara, atau telepon orang terdekatmu. Koneksi manusia adalah salah satu penawar paling ampuh untuk kekosongan jiwa.
Dan yang terpenting: jangan ragu mencari bantuan profesional. Kalau rasa “bosan” ini sudah terasa sangat berat, mengarah ke apatis, atau bahkan memunculkan pikiran untuk menyerah, itu bukan lagi pertanda untuk dilawan sendirian. Itu adalah sinyal untuk mencari bantuan. Bicara dengan psikolog atau psikiater bukanlah tanda kelemahan, tapi langkah paling berani yang bisa kamu ambil.
Mencari Keseimbangan di Tengah Kekosongan
Pada akhirnya, “perang melawan rasa bosan” seringkali adalah perang yang salah alamat. Mungkin musuh sebenarnya bukanlah rasa bosan itu sendiri, melainkan kondisi-kondisi yang membuat hidup kita terasa hampa, melelahkan, dan tidak bermakna.
Jadi, lain kali “angin” rasa bosan itu datang, jangan buru-buru dikerok dengan distraksi. Berhentilah sejenak. Dengarkan. Mungkin ia tidak datang untuk mengganggumu. Mungkin ia datang membawa sebuah undangan. Undangan untuk bertanya pada dirimu sendiri: “Apa yang sesungguhnya aku butuhkan untuk merasa hidup kembali?”